Istilah hoaks (hoax) mungkin bukan istilah yang terlalu asing bagi kita. Hoaks adalah berita bohong/palsu namun dibuat seolah-olah benar. Tujuan orang membuat hoaks bermacam-macam, mulai dari lelucon sampai kepada tujuan-tujuan politis. Tokoh bacaan Injil hari ini adalah Tomas, Sikapnya yang tidak serta merta percaya ketika para murid menceritakan bahwa mereka melihat Tuhan Yesus (Yoh 20:25) sering dijadikan contoh buruk dari seorang yang kurang iman. Tomas yang tidak hadir saat Sang Guru menjumpai para murid setelah kebangkitan-Nya bisa jadi punya alasan kuat. Saat itu beredar kabar pula bahwa para murid datang mencuri mayat Tuhan Yesus saat penjaga tidur (Mat 28:13). Para murid yang berusaha meyakinkan Tomas, ternyata gagal. Alih-alih percaya, Tomas mempunyai syarat yaitu dia harus melihat bekas paku pada tangan-Nya kemudian mencucukkan jarinya ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tangannya ke dalam lambung Tuhan Yesus. Membaca syarat yang diajukan oleh Tomas, tentu dia adalah seorang yang memahami benar bagaimana Tuhan Yesus wafat. Dari ketiga orang yang menerima hukuman mati di tiang salib, dua orang penjahat kakinya dipatahkan (Yoh 19:32). Sementara kaki Tuhan Yesus tidak dipatahkan (ay 33) namun lambung-Nya ditikam sehingga mengeluarkan darah dan air (ay. 34). Hal ini rupanya terekam baik dalam pengamatan Tomas. Tomas yang hadir saat Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus dari kubur (Yoh 11:16) tentu tidak meragukan kemampuan Sang Guru dalam melakukan mujizat. Namun ketika Tuhan Yesus diberitakan bangkit dari kematian, tentu yang ada dipikirannya adalah siapakah yang lebih berkuasa dari Sang Guru yang dapat membangkitkanNya dari kematian? Selain itu, berita tentang kedatangan Sang Guru diterimanya dari para murid. Maka lengkaplah alasan-alasan tersebut diatas sebagai dasar untuk meminta bukti kepada para murid. Bukan kepada Tuhan Yesus! Dari Tomas kita bisa belajar bagaimana berpikir sehat mempunyai porsi penting dalam bersikap. Tomas tidak ingin percaya dengan satupun berita yang beredar, yang kebenarannya masih butuh pembuktian. Tomas melawan hoaks. Apakah dia tidak kehilangan iman dengan meminta bukti? Tidak. Justru iman dan cintanya semakin dikuatkan dengan perjumpaan pribadi dengan Sang Guru. (CT)
Maria Magdalena adalah salah satu tokoh wanita Perjanjian Baru yang paling populer setelah Bunda Maria. Tidaklah berlebihan jika Dan Brown, dalam bukunya The Da Vinci’s Code menceritakan bahwa Maria Magdalena (bukan Yohanes Rasul) adalah sosok yang duduk disamping Tuhan Yesus dalam lukisan karya maestro Leonardo Da Vinci. Siapakah Maria Magdalena? Ada beberapa pendapat mengenai dirinya. Ada yang menyebutkan bahwa dialah perempuan yang tertangkap basah ketika sedang berbuah zinah (Yoh 8:2-11). Ada yang mengatakan bahwa dialah perempuan berdosa yang menangis sambil menyeka kaki Yesus dengan rambutnya kemudian meminyaki dengan minyak wangi (Luk 7:36-50). Sementara Alkitab mencatat dia adalah wanita yang disembuhkan oleh Tuhan Yesus dari roh jahat (Luk 8:2 ; Mrk 16:9). Lepas dari siapakah sosoknya, namun yang pasti peristiwa Paskah tidak dapat dipisahkan dari Maria Magdalena. Dalam Injil Yohanes, ternyata bukan Petrus, bukan pula Yohanes rasul yang menjadi orang pertama menerima penampakan Tuhan Yesus setelah Dia bangkit, melainkan Maria yang juga dikenal berasal dari Magdala ini. Mengapa Maria? Setelah melihat kubur Tuhan Yesus yang kosong, Petrus dan Yohanes pulang (Yoh 20:10). Sedangkan Maria masih berdiri di dekat kubur (ay.11). Ia menangis dan masih berusaha mencari jenazah Tuhan Yesus dengan berpesan kepada sosok yang dikiranya adalah penunggu taman (ay.15). Maria adalah orang yang tidak lelah mencari Tuhan. Cintanya terhadap Tuhan begitu besar, meski sendirian dia tidak menyerah. Upah orang yang mencari Tuhan adalah menemukan, mengenali dan menjawab sapaan itu (ay 16). Ditengah keheningan pagi, saat Tuhan Yesus memanggil namanya, Maria mengetahui bahwa itu adalah suara Tuhan Yesus, karena itu dia tidak ragu membalas sapaan itu dengan kata “Rabuni” (Guru). Sebuah relasi yang sangat pribadi. Melalui misteri Paskah, Tuhan juga menyapa kita semua tanpa kecuali. Sapaan itu tidak akan pernah kita dengar jika kita tidak pernah mencariNya. Pun tidak akan ditemukan jika kita mudah menyerah dalam mencariNya. Sapaan itu terdengar indah, mengobati kerinduan bagi siapa saja yang haus untuk berjumpa denganNya. Semoga dalam kesederhanaan dan keheningan Paskah kali ini, kita mampu mendengar dan menjawab sapaan Tuhan. Selamat Paskah!(CT)
(Terjemahan dari Homili Paus Fransiskus dalam berkat Urbi et Orbi, 27 Maret 2020)
Tuhan, Engkau memanggil kami, memanggil kami untuk beriman
“Ketika hari sudah petang” (Markus 4:35). Perikop Injil yang baru saja kita dengar dimulai seperti ini. Selama berminggu-minggu, sekarang sudah malam. Kegelapan tebal telah menyelimuti di alun-alun kita, jalan-jalan kita dan kota-kota kita; kegelapan itu telah mengambil alih hidup kita, mengisi segala sesuatu dengan keheningan yang memekakkan telinga dan kekosongan yang menggelisahkan, yang menghentikan segala sesuatu yang melaluinya; kita merasakannya di udara, kita menemukannya dalam gerak tubuh orang lain, tatapan yang mereka berikan. Kita mendapati diri kita takut dan tersesat. Seperti para murid dalam Injil, kita terperangah oleh badai yang tak terduga dan bergejolak. Kita menyadari bahwa kita berada di kapal yang sama, kita semua rapuh dan kehilangan arah, tetapi pada saat yang sama, penting dan dibutuhkan, kita semua dipanggil untuk bersatu, masing-masing dari kita perlu menghibur yang lain. Di kapal ini... kita semua. Sama seperti para murid itu, yang berbicara dengan cemas dengan satu suara, mengatakan “Kita binasa” (ayat 38), jadi kita juga telah menyadari bahwa kita tidak dapat terus memikirkan diri kita sendiri, tetapi hanya bersama-sama kita dapat melakukan ini. Di kapal ini... kita semua. Mudah untuk mengenali diri kita sendiri dalam cerita ini. Yang lebih sulit untuk dipahami adalah sikap Yesus. Sementara para muridnya secara alami waspada dan putus asa, Dia berada di buritan, di bagian kapal yang akan tenggelam lebih dulu. Dan apa yang Dia lakukan? Meskipun terjadi badai, Dia tidur nyenyak, percaya pada Bapa; ini adalah satu-satunya waktu dalam Injil kita melihat Yesus tidur. Ketika Dia bangun, setelah menenangkan angin dan air, Dia berpaling kepada para murid dengan suara mencela: “Mengapa kamu takut? Apakah kamu tidak memiliki iman?” (ayat 40). Mari kita coba mengerti. Dalam apa kekurangan iman para murid, berbeda dengan kepercayaan Yesus? Mereka tidak berhenti percaya padanya; bahkan, mereka memanggilnya. Tetapi kita melihat bagaimana mereka memanggil-Nya: "Guru, Engkau tidak peduli jika kita binasa?" (ayat 38). Apakah Engkau tidak peduli: mereka berpikir bahwa Yesus tidak memperhatikan mereka, tidak peduli tentang mereka. Salah satu hal yang paling menyakitkan kita dan keluarga kita ketika kita mendengarnya adalah perkataan "Apakah engkau tidak peduli padaku?" Itu adalah ungkapan yang melukai dan menimbulkan badai di hati kita. Perkataan itu mengguncang Yesus juga. Karena Dia, lebih dari siapa pun, peduli pada kita. Memang, begitu mereka memanggilnya, Dia menyelamatkan murid-muridnya dari keputusasaan mereka. Badai menyingkap kerentanan kita dan mengungkap kepastian yang keliru dan tak berguna, di mana kita telah menyusun jadwal harian kita, proyek kita, kebiasaan dan prioritas kita. Badai ini menunjukkan kepada kita bagaimana kita membiarkan diri menjadi tumpul dan lemah terhadap hal-hal yang memperkuat hidup kita dan masyarakat kita. Keadaan sekarang ini menelanjangi semua ide kita yang sudah dikemas dan menelanjangi kelupaan tentang apa yang menyuburkan jiwa masyarakat kita; semua upaya yang membius kita dengan cara berpikir dan bertindak yang seharusnya “menyelamatkan” kita, tetapi sebaliknya terbukti tidak mampu dalam menempatkan kita berhubungan dengan akar kita dan memelihara ingatan akan mereka yang telah pergi mendahului kita. Kita menghilangkan antibodi yang kita butuhkan untuk menghadapi kesulitan. Dalam badai ini, gambaran stereotip-stereotip yang dengannya kita menyamarkan ego kita, selalu mengkhawatirkan citra kita, telah menghilang, mengungkap sekali lagi bahwa kita (diberkati) oleh kepemilikan bersama yang tidak dapat kita kehilangan: kepemilikan kita sebagai saudara dan saudari. "Mengapa kamu takut? Apakah kamu tidak memiliki iman?" Tuhan, firman-Mu malam ini menggoncang kami dan mengingatkan kami, kami semua. Di dunia ini, yang Engkau cintai lebih dari kami, kami telah maju dengan sangat cepat, merasa kuat dan mampu melakukan apa saja. Serakah demi keuntungan, kami membiarkan diri kami terjebak dalam berbagai hal, dan terpikat dengan tergesa-gesa. Kami tidak berhenti pada teguran-Mu kepada kami, kami tidak terguncang oleh perang atau ketidakadilan di seluruh dunia, kami juga tidak mendengarkan seruan orang miskin atau bumi kami yang sakit. Kami terus melanjutkan, berpikir kami akan tetap sehat di dunia yang sakit. Sekarang kami berada di lautan badai, kami mohon kepada Engkau: "Bangunlah, Tuhan!". Tuhan, Engkau memanggil kami, memanggil kami untuk beriman "Mengapa kamu takut? Apakah kamu tidak memiliki iman?" Tuhan, Engkau memanggil kami, memanggil kami untuk beriman, bukan hanya untuk percaya bahwa Engkau ada, tetapi datang kepada-Mu dan percaya pada-Mu. Prapaskah ini seruan-Mu bergema dengan mendesak: “Bertobatlah!”, “Kembalilah kepadaku dengan sepenuh hati” (Yoel 2:12). Engkau menyerukan kepada kami untuk menggunakan waktu sulit ini sebagai waktu untuk memilih. Ini bukan waktu penghakiman-Mu, tetapi penghakiman kami: waktu untuk memilih apa yang penting dan apa yang berlalu, waktu untuk memisahkan apa yang perlu dari yang tidak perlu. Ini adalah waktu untuk mengembalikan hidup kami ke jalur yang berhubungan dengan-Mu, Tuhan, dan dengan sesama. Kita dapat melihat begitu banyak teman teladan dalam perjalanan, yang meskipun takut, telah beraksi dengan memberikan hidup mereka. Ini adalah kekuatan Roh yang dicurahkan dan dibentuk dalam penyangkalan diri yang berani dan murah hati. Kehidupan dalam Rohlah yang dapat menebus, menghargai, dan menunjukkan bagaimana kehidupan kita dijalin bersama dan didukung oleh orang-orang biasa - yang sering dilupakan orang-orang - yang tidak muncul dalam berita utama surat kabar dan majalah atau di panggung besar pertunjukan terbaru, tetapi yang tanpa ragu-ragu pada hari-hari ini menulis peristiwa-peristiwa yang menentukan di zaman kita: dokter, perawat, karyawan supermarket, petugas kebersihan, pengasuh, penyedia transportasi, pasukan hukum dan ketertiban, sukarelawan, pastor, biarawan dan biarawati dan banyak lagi lainnya yang telah mengerti bahwa tidak seorang pun mencapai keselamatan sendirian. Dalam menghadapi begitu banyak penderitaan, di mana perkembangan otentik dari bangsa kita dinilai, kita mengalami doa keimaman Yesus: "Supaya mereka semua menjadi satu" (Yoh 17:21). Berapa banyak orang yang melatih kesabaran dan menawarkan harapan setiap hari, memperhatikan bukan untuk menabur kepanikan melainkan tanggung jawab bersama. Berapa banyak ayah, ibu, kakek nenek, dan guru yang menunjukkan kepada anak-anak kita, dalam gerakan kecil sehari-hari, bagaimana menghadapi dan menangani krisis dengan menyesuaikan rutinitas mereka, mengangkat pandangan mereka dan membina doa. Berapa banyak yang berdoa, mempersembahkan dan terus memohon untuk kebaikan semua. Doa dan pelayanan dalam diam: ini adalah senjata kemenangan kita. "Mengapa kamu takut? Apakah kamu tidak memiliki iman”? Iman dimulai ketika kita menyadari bahwa kita membutuhkan keselamatan. Kita tidak bisa mandiri; oleh diri kita sendiri kita gagal: kita membutuhkan Tuhan, seperti navigator kuno yang membutuhkan bintang-bintang. Marilah kita mengundang Yesus ke dalam perahu kehidupan kita. Marilah kita serahkan ketakutan kita kepada-Nya sehingga Dia bisa menaklukkan ketakutan-ketakutan itu. Seperti para murid, kita akan mengalami bahwa dengan Dia di atas kapal tidak akan ada kapal karam. Karena ini adalah kekuatan Tuhan: mengubah segalanya menjadi baik dalam hidup kita, bahkan hal-hal buruk. Dia membawa ketenangan dalam badai kita, karena dengan Tuhan hidup tidak pernah mati. Tuhan meminta kita dan di tengah-tengah badai kita, mengundang kita untuk membangunkan kembali dan mempraktikkan solidaritas dan harapan yang mampu memberikan kekuatan, dukungan, dan makna pada saat-saat ketika segala sesuatu tampak tak berdaya. Tuhan bangun untuk membangunkan dan menghidupkan kembali iman Paskah kita. Kita memiliki jangkar: melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan. Kita memiliki kemudi: dengan salib-Nya, kita telah ditebus. Kita memiliki harapan: melalui salib-Nya, kita telah disembuhkan dan dipeluk sehingga tidak ada dan tidak seorang pun dapat memisahkan kita dari kasih-Nya yang menebus. Di tengah keterasingan ketika kita menderita karena kurangnya kehangatan dan kesempatan untuk bertemu, dan kita mengalami kehilangan begitu banyak hal, marilah kita sekali lagi mendengarkan ucapan yang menyelamatkan kita: Dia bangkit dan hidup menemani kita. Tuhan meminta kita dari salib-Nya untuk menemukan kembali kehidupan yang menanti kita, untuk memandang melalui mereka yang memandang kita, untuk menguatkan, mengenali dan menumbuhkan rahmat yang hidup di dalam kita. Janganlah kita memadamkan nyala api yang pudar (bdk. Yes 42: 3) yang tidak pernah goyah, dan marilah kita membiarkan harapan kita dinyalakan kembali. Kami memiliki jangkar ... Kami memiliki kemudi ... Kami memiliki harapan Merangkul salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk merangkul semua kesulitan saat ini, meninggalkan sejenak keinginan kita untuk kekuasaan dan kepemilikan agar dapat memberikan ruang bagi kreativitas yang hanya dapat dilakukan oleh Roh yang menginspirasi. Itu berarti menemukan keberanian untuk menciptakan ruang di mana setiap orang dapat mengenali bahwa mereka dipanggil, dan untuk memungkinkan bentuk-bentuk baru keramahan, persaudaraan dan solidaritas. Melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan untuk merangkul harapan dan membiarkannya memperkuat dan menjaga semua langkah dan jalan yang mungkin untuk membantu kita melindungi diri kita sendiri dan orang lain. Merangkul Tuhan untuk merangkul harapan: itulah kekuatan iman, yang membebaskan kita dari rasa takut dan memberi kita harapan. "Mengapa kamu takut? Apakah kamu tidak memiliki iman”? Saudara-saudari terkasih, dari tempat ini yang mengisahkan tentang iman St. Petrus yang sangat kuat, saya ingin malam ini mempercayakan Anda semua kepada Tuhan, melalui perantaraan Maria, Kesehatan Para Bangsa dan Bintang dalam badai lautan. Dari barisan tiang ini yang merangkul Roma dan seluruh dunia, semoga berkat Tuhan turun atasmu sebagai pelukan penghiburan. Tuhan, semoga Engkau memberkati dunia, memberikan kesehatan bagi tubuh kami dan menghibur hati kami. Engkau meminta kami untuk tidak takut. Namun iman kami lemah dan kami takut. Tetapi Engkau, Tuhan, tidak akan meninggalkan kami di bawah kekuasaan badai. Katakan lagi: "Jangan takut" (Mat 28: 5). Dan kami, bersama-sama dengan St. Petrus, "melepaskan semua kecemasan kami kepada-Mu, karena Engkau peduli tentang kami" (Bdk. 1 Pet 5: 7). (Diterjemahkan oleh Rm. Charles Virgenius, O. Carm, dengan segala keterbatasan).
Kata Ibuku, kami ini sudah ditakdirkan menjadi mahluk paling dungu yang pernah ada di muka bumi. Kami memang berbeda dengan si kuda yang gagah dan elok. Majikan kami sayang padanya. Dia hanya digunakan jika ada pembesar kerajaan yang meminjamnya. Kandangnya selalu dibersihkan, makanannya terjamin dan selalu dimandikan setiap hari. Kami hanya mendapat makanan sekadarnya dan tidak punya kandang. Ibu sering bercerita bahwa dia kerap disuruh membawa hasil bumi. Manusia tidak segan memukul atau berteriak memaki kami. Aku masih tergolong muda. Belum pernah ditunggangi oleh manusia. Kata ibu, aku belum cukup kuat untuk membawa beban berat bahkan seorang anak manusia sekalipun. Suatu hari, ada beberapa manusia datang, melepaskan ikatan kami dan hendak membawa ibuku. Majikanku menghampiri mereka dan bercakap-cakap sesaat dan kemudian membawaku juga. Kami berhenti di suatu tempat, ada beberapa orang menghampiri kami dan menunjuk-nunjuk aku. Ibu tidak suka karena mereka akan menggunakan aku untuk mengangkut manusia dewasa. Ibu meronta ketika manusia-manusia itu mengalasi punggungku dengan kain. Aku gugup dan bingung. Tiba-tiba ada Manusia mendekati ibuku, memandang dengan lembut, menenangkannya dengan mengusap kepala ibu seakan berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Sebelum Dia naik ke punggungku, Manusia itu mengelusku dengan lembut. Aku tidak merasakan beban yang berat ketika Dia di atasku. Ada sukacita yang belum pernah aku rasakan. Di sepanjang jalan yang kami lalui, alam menaruh hormat terhadap Manusia yang duduk di atasku. Mereka bergembira memuji Sang Pencipta. Aku merasa menjadi ciptaan yang paling beruntung. Kami memasuki kota. Di sana banyak manusia menyambutNya dengan lambaian daun palma. Mereka melepas jubah sebagai penutup jalan. Seisi kota menyambutNya bak seorang raja. Kemudian tibalah kami di suatu tempat. Manusia itu turun dari punggungku. Dia memandangku, kemudian memelukku sebagai tanda terima kasih. Hatiku tiba-tiba menjadi sedih. Dia menghampiri ibuku dan melakukan hal yang sama. Kemudian Dia melangkah pergi. Aku berteriak, "aku masih ingin bersamamu Tuan!" Dia berhenti dan menoleh kepadaku. Dia melambaikan tanganNya dan tersenyum. Aku melihat beban berat di balik senyumNya itu. (CT)
Pada Masa Prapaskah Pekan Kelima ini kita diajak untuk merenungkan kisah Yesus menghidupkan Lazarus dari kematiannya [Yoh.11:1-45]. Pesan utama yang ingin disampaikan Yesus adalah bahwa kebangkitan akan mengalahkan dan membinasakan kematian [Yoh.11:25-26]. Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Apa yang bisa diserap bagi tumbuh kembangnya iman kita dari kisah mukjizat Yesus ini? Pertama, kita bisa meneladani Marta dan Maria yang memiliki relasi pribadi sangat dekat dengan Yesus. Ia pun mengasihi Marta dan Maria karena iman mereka. Iman mereka inilah yang menghadirkan Yesus bagi Lazarus [Yoh.11:3-4]. Hubungan pribadi dengan Tuhan tak dapat serta merta datang, tetapi melalui proses relasi intim yang dibangun, dan terus-menerus disiram, dipelihara meski kadangkala ada dinamika jatuh-bangun. Kedua, dalam situasi kesedihan, kesusahan, dan kesulitan, keluarga Marta dan Maria tetap ingat kepada Tuhan. Mereka pasrah dan dengan ketulusan hati mohon pertolongan Yesus. Kesetiaan Marta dan Maria, kesetiaan kitalah yang akan meluluhkan hati Yesus [Yoh.11:33-35]. Ia tetap datang ke rumah Marta dan menjenguk Lazarus yang sudah empat hari meninggal. Soal waktu dan kehendak Allah di tengah-tengah penderitaan kita, rupanya berbeda dengan apa yang kita ingini. Allah tetap menjawab doa kita, tentu saja seturut kebijaksanaan dan kasih-Nya. Kini di saat kita semua mengalami ancaman wabah virus corona, serahkanlah hidup kita pada Tuhan, biarlah kehendak-Nya yang terjadi. Ketiga, bagi kita yang beriman kepada Kristus, kematian itu bukanlah akhir yang menakutkan. Tetapi justru sebaliknya. Peristiwa kematian adalah pintu menuju kehidupan kekal, hidup bersama Bapa [1Kor.15:42, 54]. Inilah inti iman kita dan kehadiran Yesus di dunia. Selamat menjalani akhir Masa Prapaskah dan menyambut Kemenangan Salib Kristus. Tetap jaga kesehatan. Tuhan memberkati. (VH)