Berteman Dengan Kenyataan
Oleh: Angelina
Mungkin kini dunia sedang tidak baik-baik saja. Tetapi jauh dari hiruk pikuk yang terjadi, selalu ada kehangatan (persaudaraan) yang bisa ditemukan jika saja kita mau mencari.
Belakangan ini, kita terlalu banyak berandai-andai untuk mendapatkan sesuatu yang dirasa tidak mungkin. Tidak jarang, kita menemukan perdebatan suara hati yang kerap kali bertolak belakang.
Jika sebelum pandemi teman-teman sudah memiliki rencana untuk merayakan graduation dan pergi liburan bersama sahabat kalian, apa yang akan teman-teman rasakan ketika semua rencana matang itu sekarang habis tertelan oleh pandemi ? Apakah kalian akan merasa penuh penyesalan? Atau mungkin sudah pasrah saja?
Kalau saya sendiri, mungkin saya juga akan merasakan hal yang sama dengan kebanyakan orang. Pastinya hati saya akan penuh rasa marah dan bingung harus bagaimana lagi dengan kondisi saat ini yang belum kian mereda. Jika suara hati itu berbicara, mungkin akan terdengar seperti ini.
„Kalo saja pandemi kagak ada, gw sekarang udah pakai kebaya buat acara perpisahan. Terus besoknya gw dah ada di Puncak, liburan bareng temen-temen. Malah sekarang ortu(orang tua) kagak bolehin keluar rumah, tugas sekolah numpuk, dan kalo lagi bosen, paling mentok-mentok lari ke Instagram, Youtube, dan kawan-kawannya.“
Kadang pikiran seperti ini yang membawa kita kepada kenangan masa lalu. Rasanya berat untuk menerima kenyataan bahwa sekarang saya tidak bisa bertemu dengan orang-orang yang biasa menjadi tempat saya tertawa lepas dan curhat seharian. Kebiasaan dulu dimana apa-apa barengan, mulai dari nobar (nonton bareng), mabar (main bareng), sampai nongski (nongkrong) di mall kesukaan.
“Namun, semua sudah berubah sekarang. Kadangkala gw merasa sendirian karena udah kagak tahu mau ngapain lagi, selain melakukan semuanya bersama ‘mereka‘ . Katanya sih sahabat, tapi kalo udah lagi berjauh-jauhan kayak gini, mau gimana lagi?“
Kemudian hati nurani saya berbicara setelah sekian lama terpendam oleh suara TOXIC yang sulit untuk diam, terutama sejak pandemi ini. “Well, okay pandemi mengharuskan gw lebih banyak tinggal di rumah dan LDR-an (Long Distance Relationship) sama mereka. Cuma kadang gw pikir, mungkin sekarang ini adalah waktu bagi gw untuk belajar ‘bersaudara’ dengan diri gw sendiri. Dengan waktu me time yang lebih banyak, gw semakin mengerti ternyata ada kelemahan atau beban dalam diri gw yang belum sempat ditengok. Sedikit banyak pandemi ini membuka pintu hati gw sih kalo nyatanya ada suatu PERHATIAN yang pernah terlupakan karena gw tidak pernah menyempatkan diri untuk membicarakan soal itu. Mungkin selama ini gw tidak pernah mendengarkan apa yang hati dan tubuh gw rasakan dan butuhkan sejatinya.”
Lalu suara TOXIC muncul kembali dan berkata, “Bersaudara? Sama diri sendiri? Aneh kali ya lo.. Justru yang selama ini (hati, jiwa, raga) gw inginkan adalah ketemu orang, interaksi langsung gitu. Bagi gw, itu yang baru namanya persaudaraan. “
Kemudian saya terdiam sejenak. Dan, suara nurani saya akhirnya membalas dengan apa adanya. “Iya… yang lo bilang itu semua benar; hakikatnya persaudaraan memang seperti itu. Tapi, coba deh,lo pikir lagi. Kalau aja pandemi ini enggak terjadi, emangnya semua peristiwa lalu yang lo bilang indah itu akan senantiasa indah hingga sekarang? Sebaliknya, apakah dengan adanya pandemi kayak gini, lo gak bisa bersaudara?”
Mendengar itu, saya termenung. Namun, nurani saya tidak mau menyerah dan terus berbicara. “ Nih, gw kasih tahu. Pada dasarnya, kita semua kagak ada yang bisa jawab soal begituan. Cuma, bagaimana hidup ini akan menjadi, itu adalah pilihan kita. Yaa, gw tahu mungkin bagi lo, apa yang barusan gw bilang kayak omong kosong. Gw cuman pengen lo tuh sadar bahwa apapun yang terjadi (mau ada pandemi atau tidak), ya nantinya cuma kita yang bisa dan harus gowes supaya roda kehidupan kita tuh jalan.”
Tiba-tiba saya jadi teringat dengan lagu boyband Korea, BTS, yang terbaru dan lagi ngehits. Pasti teman-teman sudah tahu, judulnya “Life Goes On”. Ada bagian lirik yang menurut saya bagus banget yang dinyanyikan oleh J-hope , yaitu:
With the "annyeong" that we start and finish the day
Let us thread tomorrow with today
Stopped for now but don't hide in the shadow
Only again daylight will glow
Dengan kata lain, melalui lagu ini BTS ingin kita tetap bertahan dan berjalan walau di tengah kesulitan yang terasa impossible.
Setelah pergulatan batin hebat tadi, akhirnya suara TOXIC tadi mulai meredam dan paham dengan tindakan yang sudah ia lakukan selama beberapa bulan terakhir ini. “Hemm.. iya juga sih.. Selama ini gue cuma menyalahkan situasi. Dan, tanpa disadari gue hanya berhenti pada berharap ini tidak terjadi. Gue kagak buka mata. Ujung-ujungnya gue sendiri yang terbebani oleh pikiran dan perasaan. Jujur, gue di masa lalu belum bisa menerima kenyataan.”
Suara-suara ini mengingatkan saya untuk belajar hidup di kenyataan, bahkan dalam bersaudara sekalipun. Bersaudara itu tidak melulu harus ketemu langsung dengan orang kok, gais. Dimulai dari melakukan sesuatu untuk orang lain seperti mengirim makanan lewat kurir online, atau bahkan se-simple mengucapkan “selamat pagi“ ke teman sekelas saat sekolah daring. Dengan begitu, apa yang kita lakukan ini sebenarnya adalah membangun kembali tali persaudaraan.