Bacaan I : Kis 1:15-17.20a.20c-26; Bacaan II: 1Yoh 4:11-16; Bacaan Injil: Yoh 17:11b-19.
DOA
Doa adalah suatu bentuk komunikasi searah kepada Allah. Sebuah doa mengandung unsur-unsur ketaatan, pengabdian, kepercayaan dan ketergantungan kepada si Penerima Doa. Di dalam keempat Injil ada banyak kisah Tuhan Yesus yang berdoa. Salah satunya adalah saat Dia berdoa kepada Bapa pada saat menjelang sengsara-Nya. Dikisahkan Yesus mendoakan para murid-Nya. Jika merunut bacaan Injil dua minggu lalu, Yesus berpesan kepada para murid melalui perumpamaan Pokok Anggur yang Benar agar hidup mereka menghasilkan buah. Caranya adalah tinggal di dalam Dia, sama seperti ranting yang tinggal di pokok anggurnya. Sementara itu bacaan Injil minggu lalu, Yesus memberikan Perintah untuk Saling Mengasihi kepada para murid. Kasih yang bagaimana? Kasih dengan kualitas tertinggi seperti yang dilakukan Yesus kepada mereka. Caranya? Tinggal dalam kasih-Nya. Sebuah perintah yang sama. Tidak cukup hanya dengan memberikan perintah dan teladan hidup, Yesus juga mendoakan para murid-Nya seperti dalam bacaan Injil hari ini. Yesus meminta kepada Bapa secara khusus agar Bapa “..melindungi mereka dari yang jahat”. Pemohonan ini mengingatkan kita pada doa Bapa Kami. Selain itu Yesus juga memohon agar para murid dikuduskan dalam kebenaran. Kebenaran yang yang sesuai dengan Firman Allah. Yesus tidak ingin para murid gagal dalam melaksanakan tugas perutusan. Dia menyadari bahwa memberi perintah dan teladan saja tidak cukup. Semua itu harus dilengkapi dengan doa agar Bapa menjaga para murid. Dia telah mengetahui bahwa para murid akan dibenci oleh dunia dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karena itu penting bagi para murid agar mereka selalu bersatu sama seperti Yesus dengan Bapa. Doa adalah cara mencinta saat orang yang kita cintai tidak bersama dengan kita. Doa adalah urat nadi kehidupan orang percaya. Sukacita injili tidak akan pernah sampai kepada kita saat ini tanpa doa dari Tuhan Yesus. [CT]
Sejak manusia pertama diusir dari Eden karena melanggar perintah Allah, peradaban manusia terbelenggu oleh dosa.. Dendam, iri hati, keserakahan, kemarahan sungguh menghantui perjalanan hidup manusia. Namun Allah tidak membiarkan manusia berjuang sendiri menjalaninya. Dia selalu menyertai perjalanan hidup manusia. … sebab Allah adalah kasih. [1Yoh 4:8b]. Kasih membuat perjalanan hidup menjadi bermakna. Sebegitu pentingnya kasih ini, dalam detik-detik menjelang langkah-langkah menuju kesengsaraanNya, Tuhan Yesus merasa perlu mengulangi perintah untuk saling mengasihi kepada para rasul. Didalam perikop sebelumnya, Tuhan Yesus memberikan perintah baru yaitu supaya para murid saling mengasihi, sama seperti yang dilakukanNya kepada para murid [Yoh 13:34]. Mungkin kita bertanya-tanya, apakah mengasihi ini adalah perintah baru? Bukankah perintah mengasihi TUHAN telah disampaikan Musa dalam kitab Ulangan. Sementara perintah untuk mengasihi sesama ada di dalam kitab Imamat? Sepertinya tidak ada yang baru dalam hal mengasihi. Namun jika dibaca dalam teks bahasa Yunani yang merupakan bahasa dimana Perjanjian baru ditulis, kata “baru” pada Yoh 13:34 adalah KAINOS yang menunjukkan baru dalam aspek kualitas. Bukan NEOS yaitu “baru” yang menerangkan aspek waktu. Perintah mengasihi [KAINOS] akan lebih mudah dipahami dengan membaca Mat 5:38-42. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas kasih seperti yang diminta oleh Tuhan Yesus? Bacaan Injil hari ini merupakan kelanjutan dari bacaan Injil Minggu lalu mengenai Pokok Anggur yang Benar dimana Tuhan Yesus meminta para murid untuk tinggal di dalam Dia agar berbuah banyak [Yoh 15:5]. Dengan demikian agar kita bisa meningkatkan kualitas kasih kita maka kita juga harus tinggal di dalam kasih Kristus [ayat 9]. Karena hanya kasih Kristus saja yang “…memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya.” Marila kita senantiasa meningkatkan kualitas kasih baik itu kepada Allah dan juga kepada sesama karena dengan demikian kita telah menjadikan perjalanan hidup ini sungguh bermakna. [CT]
Siapa sih yang tidak ingin hidupnya bahagia? Atau sukses? Atau berhasil? Saya kira tidak ada. Tidak ada orang yang tidak mau mencapai suatu kebahagiaan. Lalu, bagaimana untuk mencapai kebahagiaan itu sendiri? Albert Einstein, salah seorang ilmuwan hebat di dunia ini, pernah berkata: “Jika kamu ingin hidup bahagia, ikatlah itu pada sebuah tujuan. Bukan untuk orang atau benda" Hal ini mau mengatakan kepada kita bahwa setiap orang (tanpa terkecuali) harus memiliki tujuan. Tanpa tujuan, hidup manusia terasa hampa, tidak terarah, dan akhirnya tidak bahagia. Dalam proses mencapai tujuan itu, kesetiaan sangat dibutuhkan. Sebab, setiap segi kehidupan manusia membutuhkan apa yang disebut dengan kesetiaan. Ketika seseorang menjaga hubungan baik dengan sesamanya, perlu kesetiaan. Ketika seseorang mengolah dirinya supaya menjadi lebih baik, perlu kesetiaan. Jika dalam hubungan dengan sesama dan diri sendiri membutuhkan kesetiaan, apalagi dalam menjalin hubungan dengan Yesus, pasti membutuhkan kesetiaan yang lebih. Tuhan selalu setia kepada kita manusia, walaupun terkadang kita tidak setia kepada-Nya. Kesetiaan Tuhan dapat dipahami dalam perumpamaan tentang Gembala yang baik. Tuhan Yesus berkata: “Akulah Gembala yang baik” (Yoh 10: 11). Dalam ayat 14 dan 15, Yesus menegaskan: “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawaKu bagi domba-dombaKu”. Dari ayat ini, ada dua hal yang hendak disampaikan kepada kita. Pertama, bahwa setiap orang Kristiani adalah domba yang digembalakan oleh Yesus. Sakramen baptis yang sudah kita terima, adalah bukti bahwa kita mengenal Yesus. Dan karenanya, Yesuslah yang menjadi gembala hidup kita; Yesuslah yang mengarahkan hidup kita menuju pada kebahagiaan. Dia adalah satu-satunya jalan menuju persatuan dengan Bapa (Yoh 14:6). Pertanyaannya adalah jika Yesus yang mengarahkan hidup kita apa yang kita lakukan? Yang kita lakukan adalah setia. Setia pada Yesus sampai pada akhir hayat. Sebab, tanpa Yesus, kita tersesat. Ibaratnya seekor domba yang keluar dari kawanan domba sang gembala. Pasti ‘serigala’ akan dengan mudah ‘menerkam’ domba yang tersesat itu. Kedua, Yesus memberikan nyawa bagi domba-dombaNya. Yesus yang memberikan nyawanya bagi domba-dombaNya mau menunjukkan kepada kita betapa besar pengorbanan Yesus kepada umat manusia. Ia rela menderita, disalibkan, dan wafat, hanya untuk menebus dosa-dosa kita. Ia merelakan nyawanya hanya untuk menyelamatkan kita dari serangan ‘serigala’. Sehingga kita layak disebut ‘anak-nak Allah’ (1 Yoh 3:10). Itulah karunia kebaikanNya kepada manusia. Injil Yohanes mau mengingatkan kita untuk rela berkorban sama seperti Yesus. Yesus sudah memberi teladan untuk kita, maka sudah seharusnya kita meneladaniNya. Jika Yesus sudah setia kepada kita, bahkan Ia rela mati bagi kita, akankah kita dengan mudah tidak setia kepada Dia? Saudara-saudari, sebagai anak-anak Allah, kita tidak hanya sekedar setia kepada Allah; kita tidak sekedar bertahan menjadi ‘domba-domba’ Yesus di tengah dunia yang semakin susah; kita tidak sekedar setia ke Gereja, rajin berdoa, baca Kitab Suci, dan lain sebagainya. Tetapi, melalui kesetiaan kepada Allah, kita diajak untuk menunjukkan rasa tanggungjawab dan pengorbanan, sama seperti Yesus sang Gembala yang telah berkorban untuk kita. Kelak, Yesus tidak bertanya pada kita berapa kali kamu ke gereja?; berapa kali kamu berdoa: berapa banyak ayat kitab suci yang kamu hafal?; dan lain sebagainya. Namun, Yesus bertanya: berapa kali kamu berkorban untuk keluargamu?; berapa kali kamu berkorban untuk saudara-saudarimu?; berapa kali kamu berkorban untuk pilihan hidupmu?; berapa kali kamu berkorban untuk sesamamu yang menderita?. Sekali lagi, setia kepada Yesus tidak sekedar bertahan, tetapi setia kepada Yesus harus disertai dengan semangat pengorbanan. Sebab, dengan pengorbanan kita semakin mengarahkan diri kepada sang kebahagiaan. Tidak ada pengorbanan yang berujung sia-sia. Tidak ada pengorbanan yang tak berguna. Semoga, dengan pengorbanan kita, dunia semakin mengenal Allah. Sebab, itulah tugas kita sebagai anak-anak Allah, yakni membawa terang bagi dunia supaya semakin mengenal Allah (bdk. 1 Yoh 3: 1b). Fr. Paulinus Daeli, OSC
Anggur merupakan salah satu dari tujuh tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di tanah Israel. Keenam tanaman lainnya adalah gandum, ara, jelai,kurma, delima, dan zaitun. Anggur merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial ekonomi bangsa Israel sejak dulu kala. Dia adalah lambang utama berkat dan kekayaan. Anggur juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang keselamatan. Dalam kidungnya tentang kebun anggur [Yes5:1-7]. Nabi Yesaya menyebutkan bahwa ‘kebun anggur TUHAN semesta alam adalah kaum Israel’. Yesaya melukiskan bagaimana TUHAN merawat kebun anggur itu sedemikian rupa agar menghasilkan buah anggur yang baik. Dalam Perjanjian Baru, penulis Injil Yohanes menempatkan kisah mujizat Tuhan Yesus yang pertama adalah mengubah air menjadi anggur. Dan anggur ini pula yang menjadi penawar dahaga dari Sang Juruselamat sebelum Dia mengucapkan “Sudah selesai” dan menyerahkan nyawaNya. [Yoh 19:30] Bacaan Injil hari ini Tuhan Yesus bertutur mengenai perumpamaan pohon anggur yang dipakai untuk melukiskan hubungan antara diriNya dan para murid. Tuhan Yesus mengkiaskan dirinya sebagai “Pokok Anggur yang Benar” dan para murid adalah ranting-rantingNya. Sementara Bapa adalah pengusahanya. Ranting yang tidak berbuah akan dipotong sedangkan yang berbuah akan dibersihkan agar menghasilkan lebih banyak buah lagi. Pemeliharaan pohon anggur sudah dikenal baik oleh masyarakat pada zaman itu. Pembersihan kadang tampak begitu mencolok karena yang tertinggal hanya pokok anggur saja, sementara rantingnya dibuang semua. Pesan dari perikop ini sangat jelas sekaligus keras yaitu sebagai murid-murid Kristus haruslah menghasilkan buah. Kisah Barnabas yang mendampingi Saulus dalam bacaan pertama merupakan teladan baik bagi hidup yang berbuah. Saulus yang bertobat tidak diterima oleh para murid saat hendak bergabung bersama mereka. Berkat Barnabas yang mendampingi dan meyakinkan para murid maka Saulus bisa diterima. Jika boleh berandai-andai, bagaimana perkembangan kekristenan tanpa peran dari Barnabas? Lalu seberapa susahnya agar hidup kita berbuah? Mungkin perkataan Tuhan Yesus ini akan membantu kita semua untuk berefleksi: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” [Yoh 15:4] –CT
Kepercayaan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Ada orang yang mengatakan bahwa kepercayaan merupakan mata uang yang paling berharga di dunia ini. Ada juga yang mengatakan bahwa kepercayaan menjadi fondasi dari setiap hubungan manusia. Trust atau kepercayaan tentu tidak mudah didapat, tetapi membutuhkan proses panjang. Karena kepercayaan itu tidak bersifat instan, maka seringkali membutuhkan keterbukaan, pembuktian, dan konsistensi untuk berbuat baik. Ini merupakan hukum alam yang dilakukan oleh manusia kapan dan dimana saja agar mendapat kepercayaan dari orang lain. Hal senada juga dialami oleh Yesus pada hari ini. Nampaknya Yesus sengaja hadir secara tiba-tiba ke tengah-tengah orang yang sedang membahas tentang kehidupan-Nya. Yesus mengejutkan mereka dengan ungkapan, “Damai sejahtera bagi kamu!” Hal tersebut ternyata tidak sepenuhnya mendapat respons positif dari mereka. Namun, Yesus berupaya membuka hati dan iman mereka dengan menunjukkan tangan kaki-Nya, bahkan memakan sepotong ikan goreng yang mereka berikan. Yesus dengan sabar melalui proses tahap demi tahap, untuk menyadarkan dan mengajak manusia agar percaya bahwa Dia yang telah mati di kayu salib itu telah bangkit. Sebagai Mesias, Dia harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga. Apa pesan yang disampaikan pada Minggu Paskah yang ketiga ini? Kita diutus menjadi saksi kebangkitan dengan membawa damai bagi sesama. Tandanya orang yang mengenal Allah adalah percaya kepadanya dan menuruti firman-Nya, yang nampak dengan menunjukkan kasih Allah yang sempurna dalam dirinya (1Yoh 2:5). Sebagai pengikut Yesus, kita diajak untuk bangkit dari kedosaan dan kelemahan manusiawi. Kita diutus menjadi saksi kebangkitan Yesus dengan menjadi rahmat dan sukacita dalam hidup ini, dengan menghujani orang-orang sekitar kita dengan cinta dan kebaikan. Kita adalah orang-orang yang diutus menjadi perpanjangan tangan Yesus untuk menjadi saksi cinta kasih-Nya. Namun, kita harus lebih duhulu percaya bahwa Dia adalah seorang Pemimpin kepada hidup dan bangkit dari antara orang mati (Kis 3:15). Kepercayaan akan melahirkan cinta, tak ada cinta tanpa kepercayaan. Sr. Angela Siallagan FCJM.