Pada tahun 70an hingga awal tahun 80an, ada sejumlah umat katolik di kawasan ini, dan mereka sudah mulai berkumpul untuk mengadakan berbagai kegiatan. Akan tetapi waktu itu “pusat” kegiatan tidak terletak di daerah Jl. Raya Serpong, melainkan di daerah Curug, terutama di Pusat Latihan Penerbang (PLP) Curug.
Bahkan Curug waktu itu sudah disebut sebagai stasi, yang sempat dilayani dari Paroki St. Maria Tangerang maupun dari Paroki Rangkas Bitung, Keuskupan Bogor. Inilah stasi yang kemudian berkembang menjadi Stasi St. Odilia saat ini.
Umat di daerah Jl. Raya Serpong baru berkembang kemudian. Pada tahun delapanpuluhan, umat sudah tersebar di sepanjang Jl. Raya Serpong sampai daerah Muncul, Pamulang. Umat sudah mulai mengadakan kegiatan bersama, dan mengorganisir diri dalam beberapa lingkungan di dalam Paroki St. Maria Tangerang. Beberapa lingkungan yang sudah ada waktu itu adalah Lingkungan St. Yohanes V (paling Utara), Lingkungan St. Yohanes VI (tengah), dan Lingkungan St. Margaretha (Selatan, Batan dan Puspiptek Serpong). Dalam situasi seperti itu, kehidupan menggereja di kawasan ini sudah berkembang dengan baik. Bahkan Lingkungan St. Margaretha sudah cukup aktif mengisi tugas koor di Paroki St. Maria.
Pada bulan Agustus 1988, Paroki St. Maria Tangerang dimekarkan dengan diresmikannya paroki baru, yakni Paroki St. Agustinus. Dengan demikian semestinya umat di ketiga lingkungan ini masuk ke dalam wilayah Paroki St. Agustinus. Akan tetapi karena alasan kemudahan sarana transportasi, umat tetap memilih untuk mengikuti kegiatan gerejani di Paroki St. Maria Tangerang. Baru pada 25 Desember 1990 ketiga lingkungan di atas resmi diserahkan oleh Paroki St. Maria kepada Paroki St. Agustinus.
Setelah jumlah umat di daerah ini terus bertumbuh, maka mulailah diselenggarakan perayaan ekaristi di aula TK Strada Nusa Melati (sekarang Villa Melati Mas), yang dilayani oleh Pastor Ign. Putranto OSC. Dalam beberapa perayaan ekaristi itulah mulai dipikirkan kemungkinan untuk membentuk stasi baru yang mencakup ketiga lingkungan tersebut di atas. Dasar pertimbangannya adalah bahwa jumlah umat semakin berkembang, sementara struktur lingkungan dirasakan tidak teratur menyusul terbentuknya Paroki St. Agustinus. Umat dan imam yang terlibat dalam diskusi awal itu sudah memikirkan bahwa stasi ini di kemudian hari akan dikembangkan menjadi paroki, karena satu keyakinan bahwa daerah ini akan berkembang pesat di masa mendatang. Jadi bisa disimpulkan bahwa ide pembentukan stasi (dan kemudian paroki) sungguh berasal dari keinginan umat yang kemudian diusulkan kepada Pastor Paroki dan kemudian kepada Bapak Uskup.
Setelah mengadakan persiapan seperlunya, terbentuklah satu tim formatur yang kemudian menghadap Pastor Chris Tukiyat OSC, pastor kepala Paroki St. Agustinus Karawaci. Atas arahan Pastor Tukiyat, maka pada 5 Juni 1990 terbentuklah satu kepengurusan lengkap yang sepakat untuk mengusulkan nama Stasi Ascencio untuk mengenang bahwa pemilihan pengurus stasi dilakukan pada Hari Kenaikan Yesus ke Surga tanggal 24 Mei 1990. Kepengurusan ini kemudian diresmikan oleh pastor kepala Paroki St. Agustinus pada tanggal 5 Juni 1990, disusul dengan persetujuan dari Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr Leo Sukoto SJ, pada 4 April 1991. Pengurus Dewan Harian Stasi Ascencio tersebut terdiri dari:
Pelindung : Dewan Paroki St. Agustinus Karawaci
Ketua : Pastor Ign. Putranto OSC
Wakil Ketua : Robert Dwi Trisna
Sekretaris : Jose Widyarsa
Bendahara : A. Pinitoyo
Seksi Liturgi : V. Samiyoto
B. Priyohandono
Seksi Pewartaan : Maria Sri Lanawati
Maria Catharina
Seksi Sosial : J.B. Racmat Heryanto
Seksi Wanita : Threes Priyohandono
Maka mulailah kehidupan baru menggereja di kawasan Serpong. Para pelaku sejarah mengaku kehidupan menggereja sangat dinamis ketika itu. Hubungan antar pribadi dan antar keluarga sangat akrab. Perayaan ekaristi bukan sekadar menjadi sarana berkomunikasi dengan Tuhan, tetapi juga menjadi sarana berkomunikasi antarumat. Karena jumlah umat belum terlalu banyak, bisa dikatakan setiap umat paroki saling mengenal satu dengan yang lain, sehingga siapa yang tidak hadir dalam satu perayaan ekaristi akan diketahui oleh umat yang lain, dan hal itu akan menjadi bahan pertanyaan pada minggu berikutnya saat yang bersangkutan hadir. Setelah selesai Perayaan Ekaristi umat selalu mengambil kesempatan untuk berbicara satu dengan yang lain, bahkan ada pula yang mengambil kesempatan untuk berolahraga bersama.
Di sisi lain jumlah umat yang mengikuti perayaan ekaristi di aula TK tersebut tidak cukup banyak. Maka sejumlah aktivis mengambil inisiatif menjemput umat sebelum misa dan mengantar mereka pulang seusai misa. Peralatan misa pun diusahakan secara gotong royong. Ada yang menyumbang kain, yang lain kemudian menjahit menjadi pakaian misa. Umat lain setiap misa dengan sukarela meminjamkan alat pengeras suara, dan yang lain lagi meminjamkan organ. Pendek kata, menurut seorang pelaku sejarah, situasi saat itu sungguh menggambarkan persekutuan dan persaudaraan sejati dalam iman. Selama beberapa tahun umat perdana ini mengikuti perayaan ekaristi di aula TK Strada Nusa Melati.
Dalam perjalanan waktu umat semakin berkembang, dan Dewan Stasi mulai berpikir mengenai kemungkinan untuk memiliki rumah ibadat sendiri. Maka segala usaha untuk membangun rumah ibadah juga dilakukan, mulai dari pembentukan panitia, dilanjutkan dengan penggalangan dana dan aneka langkah teknis lainnya. Salah satu kemudahan untuk panitia adalah bahwa kemudian pengembang perumahan Bumi Serpong Damai telah menghibahkan sebidang tanah di Jl. Alamanda, Sektor I.2. perumahan tersebut kepada Keuskupan Agung Jakarta pada tanggal 23 Januari 1990, bahkan ketika Dewan Stasi St. Ascencio belum terbentuk.
Susunan Panitia Pembangunan Gedung Serbaguna (PPGS) tersebut adalah sebagai berikut:
Pastor Stasi : Pastor Ign. Putranto OSC
Ketua PPGS : Vincentius da Silva
Wakil Ketua : Donisius Simarmata
Sekretaris : Frans Herlawinardi
Bendahara : AM Joko Pranoto
Seksi Perijinan : Y Lonteng
Seksi Humas : Robert Dwi Trisna
Seksi Dana Intern : Dharma Nursalim
Seksi Dana Ekstern : Ign Ledung SM
Seksi Teknik : Yohanes Sani Wijaya
Fransiskus Hariyanto Asnadi
PPGS pun mulai bekerja untuk mewujudkan cita-cita membangun rumah ibadat. Selama bulan Oktober 1991 pantia berhasil mendapatkan rekomendasi dari tiga instansi penting, yakni dari Kantor Sosial Politik Kabupaten Tangerang, Kantor Kecamatan Serpong, dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Tangerang. Berbekal tiga rekomendasi ini panitia mulai mengurus Ijin Mandirikan Bangunan (IMB) Gereja, dan IMB itu turun pada 18 Mei 1992. Karena IMB memiliki masa tenggat, maka panitia pun segera mengambil langkah mengadakan upacara peletakan batu pertama pada 1 Oktober 1992 sebagai tanda dimulainya pembangunan gereja. Akan tetapi yang pertama dibangun bukan gedung gereja itu sendiri, melainkan gedung pastoran. Yang tak bisa diabaikan adalah keterlibatan hampir seluruh warga untuk ikut berperanserta dalam proses pembangunan, terutama dalam proses penggalangan dana.
Proses pembangunan gedung pastoran selesai pada 28 Maret 1993, dan mulai saat itu kegiatan peribadatan Stasi Ascencio dipindahkan dari Aula TK Strada Bhakti Nusa Melati ke aula pastoran di Jl. Alamanda Bumi Serpong Damai. Begitu pastoran sudah selesai, maka proses pembangunan gereja pun segera dimulai. Dengan demikian umat yang mengikuti perayaan ekaristi di pastoran bisa melihat perkembangan proses pembangunan gereja dari Minggu ke Minggu, sehingga semakin berkobarlah semangat untuk segera menyelesaikannya.
Adapun susunan Panitia Pembangunan Gereja per 10 September 1994 adalah sbb:
Ketua : Rahmat Djojo
Ketua I : Ruddi Harjanto
Ketua II : Herman Suradja
Ketua III : Petrus da Gomes
Sekretaris I : Liem Peng Hong
Sekretaris II : Hendrikus H
Bendahara I : John Rumengan
Bendahara II : Sulastri Frieda Tobing
(Her Suharyanto)