Uskup yang Gemar Berbagi
Kisah Santo Nikolas memunculkan tradisi Sinterklas. Sosok tua berjanggut putih itu selalu membagikan hadiah kepada anak-anak menjelang Natal.
Pada abad keempat, di Myra, Asia Kecil (sekarang Turki) hiduplah satu keluarga dengan tiga putrinya. Karena dihimpit kemiskinan, sang ayah menyarankan kepada anak-anaknya untuk mencari uang dengan cara-cara yang tidak pantas, di antaranya dengan menjual diri.
Kisah itu sampai di telinga Nikolas, Uskup Myra. Pada suatu malam, dengan mengendap-endap, Nikolas meletakkan sebongkah emas di rumah keluarga miskin itu. Tentu saja mereka penasaran, siapa yang memberi emas?
Beberapa waktu berselang, Nikolas datang kembali ke rumah keluarga itu sembari membawa uang. Kali ini, sang ayah memergoki kedatangan Nikolas. Seketika ia tersungkur di kaki sang uskup. "Monsinyur Nikolas, Anda telah menyelamatkan jiwa keluarga saya dari api neraka. Mengapa Anda memberikan semua ini secara diam-diam?" Tanya pria itu.
Jawab Nikolas, "Memberi itu indah, jika hanya Tuhan yang tahu."
Air mata laki-laki itu menghilir di pipinya. Ia mengucap syukur kepada Tuhan atas anugerah-Nya ini.
Semangatnya kembali berpijar setelah sekian lama kemiskinan membuatnya putus asa.
MEMPERKAYA JIWA
Nikolas lahir dan dibesarkan oleh keluarga pedagang kaya di Myra. Ayah dan ibunya mengajarkan kepadanya untuk bermurah hati terhadap sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan uluran pertolongan. Seiring bergulirnya waktu, Nikolas meyakini bahwa menolong orang lain sesungguhnya justru memperkaya jiwanya.
Setelah menjadi imam, Nikolas berziarah ke Tanah Suci Yerusalem. Sekembalinya dari ziarah, ia terpilih menjadi Uskup Myra. Uskup Nikolas dikenal saleh, lugu, dan penuh semangat. Ia gigih membela kepentingan orang-orang yang tertindas dan tak berpunya. Selain murah hati, Nikolas sungguh-sungguh melayani umatnya. Ia memanfaatkan harta warisan orang tuanya untuk karya-karya amal, terutama untuk menolong orang-orang miskin.
Sebagai Uskup Myra, Nikolas semakin menyadari kebutuhan banyak orang. Ia menjelajahi segenap penjuru kota untuk menawarkan pertolongan kepada siapa saja yang tengah dibelit kesulitan. Meski tidak ingin terkenal, nama baiknya tersebar hingga kota-kota yang jauh, yang belum pernah dikunjunginya.
Secara khusus, Nikolas memberi perhatian agar keluarga-keluarga mempunyai makanan yang cukup serta tempat tinggal yang layak, anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik, orang-orang lanjut usia menjalani hidup mereka dengan bermartabat.
Nikolas sangat berterima kasih kepada para pelaut yang hidupnya penuh bahaya. "Tanpa kapal-kapal mereka, banyak orang di berbagai belahan dunia ini tidak memperoleh makanan dan barang-barang sebagaimana dibawa oleh para pelaut dalam perdagangan," kata Nikolas.
Pada suatu masa, Asia Kecil mengalami gagal panen. Akibatnya, banyak umat kelaparan. Nikolas mondar-mandir ke berbagai wilayah untuk menggalang bantuan bagi umatnya. Ia kembali ke Myra dengan kapal yang memuat bahan makanan, seperti gandum dan buah-buahan.
Ketika terjadi penganiayaan terhadap orang-orang Kristen, umat di Keuskupan Myra pun dikejar-kejar dan dianiaya. Nikolas pun ikut ditangkap, disiksa, dan dijebloskan ke dalam penjara bersama banyak orang Kristen lainnya. Ia baru dibebaskan ketika Konstantinus menduduki takhta kekaisaran.
Nikolas berupaya mempertahankan kemurnian ajaran Gereja terhadap serangan bidaah Arianisme. Ia hadir di dalam Konsili Nicea pada tahun 325, dan menjadi salah satu uskup yang merumuskan dan menandatangani "Credo Nicea" atau "Syahadat Nicea". Berkat kerja keras Uskup Nikolas, Keuskupan Myra tidak terpengaruh oleh ajaran sesat Arianisme.
INDAHNYA MEMBERI
Nikolas dikenal sebagai penyayang anak-anak. Ia kerap membagikan hadiah-hadiah kecil kepada anak-anak yang ia jumpai, seperti permen dan mainan. Kelembutan sikapnya menyentuh hati anak-anak.
Kisah hidup Nikolas memunculkan tradisi Sinterklas yang sangat populer hingga kini, yakni sosok tua berjanggut putih yang mengenakan pakaian berwarna merah. Ia membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak menjelang Natal, tepatnya pada 5 Desember.
Tradisi Sinterklas pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Belanda kepada umat Protestan di Amerika Serikat. Seiring waktu, tradisi ini menyebar ke berbagai penjuru dunia, terutama di kalangan umat Katolik dan Protestan, termasuk di Indonesia.
Istilah "Sinterklas" mempunyai arti seseorang yang berpakaian seperti uskup yang membagikan hadiah kepada anak-anak sembari menguji pengetahuan agama mereka. Sinterklas membawa beberapa pelayan berkulit hitam yang dikenal sebagai "Piet Hitam". Tugasnya, menghukum anak-anak nakal. Tradisi Piet Hitam diambil dan kisah Santo Nikolas yang dengan tanda salib mengubah beberapa setan hitam menjadi pelayannya.
Nikolas wafat di Myra pada 6 Desember 343 dalam usia 73 tahun. Awalnya, ia dimakamkan di Katedral Myra. Pada musim semi tahun 1087, karena kekhawatiran akan invasi bangsa Turki, para pelaut membawa sebagian relikwi Santo Nikolas ke Bari, Italia. Sementara sebagian relikwi lainnya diambil oleh orang—orang Venesia pada masa Perang Salib pertama dan dibawa ke kota Venesia.
Di Bari, Paus Urbanus II membangun sebuah basilika sebagai tempat penyimpanan relikwi Santo Nikolas. Sebuah gereja juga dibangun di kota Venesia sebagai tempat penyimpanan sebagian relikwi Nikolas. Gereja yang dikenal sebagai "San Nicole al Lido" ini dikelola oleh para biarawan Fransiskan. Santo Nikolas dihormati sebagai pelindung anak-anak. (Maria Etty)