UNTAIAN DOA MENJADI KENYATAAN
Meski doa-doa yang dipanjatkannya selama belasan tahun tak kunjung terkabul, harapannya senantiasa berpijar.
Di hadapan jendela sebuah rumah persinggahan di Ostia, Roma, Monika memandangi aliran Sungai Tiber yang tenang. Nyaris tiada gelombang pada saat itu. Sementara putranya, Agustinus, berdiri di dekatnya.
"Anakku, satu-satunya alasan yang membuat aku masih ingin hidup agak lebih lama lagi karena aku ingin melihat dirimu menjadi pengikut Kristus, sebelum aku menghembuskan napasku yang terakhir," ucap Monika seraya mengalihkan tatapannya ke arah putranya.
Selama bertahun-tahun Monika tekun berdoa dan berpuasa demi pertobatan Agustinus. Tak jarang air mata menghilir di pipinya jika ia mengingat cara hidup putra sulungnya yang tidak karuan. Nyatanya, tiada doa yang tidak didengarkan oleh Allah. Hingga tiba saatnya ia menuai sukacita karena pada akhirnya putranya bertobat. "Akhirnya, Allah menggerakkan hatimu untuk mempersembahkan diri kepadaNya dalam pengabdian yang tulus," ungkap Monika dengan suara tercekat keharuan.
TEKANAN BATIN
Ketika berusia 20 tahun, perempuan saleh kelahiran Tagaste, Afrika Utara, tahun 331 ini dijodohkan dengan Patrisius, seorang pegawai tinggi pemerintahan kota. Patrisius cenderung temperamental. Amarahnya mudah tersulut.
Pasangan ini dikaruniai tiga anak, yakni Agustinus, Navigius, dan Perpetua (kelak memimpin sebuah biara). Si sulung, Agustinus-lah, yang bermasalah. Ia
mewarisi keburukan perangai ayahnya.
Awalnya, Patrisius kafir. Ia biasa pulang ke rumah dalam kondisi mabuk pada larut malam. Menghadapi ulah suaminya, Monika kerap mengalami tekanan batin.
Patrisius kerap mencemooh dan menertawakan usaha Monika mendidik Agustinus agar menjadi pemuda yang berbudi luhur. "Tidak ada gunanya kau nasihati anak itu. Dia tidak bakal mendengarkan!" ucapnya sembari tersenyum sinis. Demi menghindari pertengkaran, Monika berupaya tidak membantah ucapan suaminya. Ia menanggung semuanya dengan sabar seraya bertekun dalam doa, memohon campur tangan Tuhan.
Bertahun-tahun lamanya tidak ada tanda apa pun bahwa Tuhan mengabulkan rangkaian doa-doanya. Namun, pada akhirnya iman Monika yang teguh beroleh ganjaran sukacita. Pada tahun 371, setahun sebelum meninggal dunia, Patrisius dibaptis. Pada saat bersamaan, ibu Patrisius ikut dibaptis pula. Monika sungguh mensyukuri rahmat itu.
Sementara itu, saat berusia 18 tahun, cara hidup Agustinus semakin menggelisahkan hati Monika. Pada saat melanjutkan studi di Kartago, Agustinus malah terjerumus ke dalam aliran bidaah Manikisme yang menolak Allah dan sangat mengedepankan rasio. Realita ini sungguh tidak dapat diterima oleh Monika.
Selain itu, di usia belia, Agustinus sudah hidup bersama dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan. Kemudian perempuan itu mengandung dan melahirkan anak bernama Deodatus. Untuk menghindari keluh-kesah ibunya, Agustinus pergi ke Italia.
MENYUSUL KE ROMA
Monika meminta bantuan kepada Uskup Ambrosius. Uskup menenangkan Monika. "Tuhan akan mengembalikan putramu kepadamu!" Tapi, nasihat itu tidak sanggup menenteramkan hati Monika. la tidak tega membiarkan Agustinus lari menjauhi dirinya. Alhasil, ia menyusul putra sulungnya ke Italia. Bahkan, kemudian ia menyertai anaknya di Roma dan Milan.
Di Milan, Monika dan putranya bertemu dengan Uskup Ambrosius, pujangga dan pengkotbah ulung. Berkat teladan dan bimbingan Uskup Ambrosius, akhirnya Agustinus bertobat. Kemudian ia bertekad untuk menjalani hidup hanya bagi Allah dan sesama.
Pada saat Paskah tahun 387, Agustinus dibaptis oleh Uskup Ambrosius. Bagi Monika, peristiwa itu merupakan puncak kebahagiaan dalam hidupnya. Di kemudian hari, Agustinus memilih hidup selibat sebagai silih atas masa lalunya yang berlumur dosa.
Dalam perjalanan pulang dari Italia ke Afrika, Agustinus dan Monika terlibat dalam perbincangan yang sangat menggembirakan. Mereka telah melupakan liku-liku masa lalu yang muram.
"Pada saat itu, kami bertanya-tanya seperti apakah kehidupan orang-orang suci di Surga. Akhirnya, dunia dengan segala isinya tidak lagi menarik bagi kami," beber Agustinus. Kata Monika, "Anakku, bagi ibu, sudah tidak ada sesuatupun yang memikat di dunia ini. Ibu tidak tahu untuk apa mesti hidup lebih lama. Sebab, segala harapan Ibu di dunia ini sudah terkabul...."
Beberapa hari berselang, Monika jatuh sakit. Ia berkata kepada Agustinus, "Anakku, satu-satunya yang kukehendaki adalah agar engkau mengenangkan daku di Altar Tuhan." Perempuan yang luar biasa tegar dan tabah ini menghadap Sang Khalik di Ostia, Roma, pada 387 M. Santa Monika dihormati sebagai pelindung ibu rumah tangga dan para janda. Pestanya dirayakan setiap 27 Agustus. (Maria Etty)